Minggu, 14 September 2008

TIPOLOGI MANUSIA MENGHADAPI RAMADHAN

Ramadhan seri 2

Setiap bulan Ramadhan menjelang, kita bisa membagi kaum muslimin dalam
beberapa kategori dan model, yaitu:
Pertama, kalangan yang sangat antusias menyambut Ramadhan, karena sadar
akan banyaknya bonus rahmat dan pahala yang akan mereka dapatkan di
bulan itu.
Kedua, mereka yang biasa-biasa saja dalam menyambut kedatangan bulan
suci ini, tanpa ekspresi dan tanpa apresiasi apa-apa. Karena mereka
tidak mengerti apa sebenarnya yang ada dalam Ramadhan.
Ketiga, mereka yang gembira dengan kedatangan Ramadhan, hanya karena
mereka diuntungkan secara materi walaupuan mereka miskin secara ruhani.
Keempat, golongan yang merasa ketakutan dengan kedatangan bulan Ramadhan.
Terus terang, klasifikasi ini baru saja saya dapatkan dan tiba-tiba saja
muncul dari benak saya, ketika saya membaca beberapa buku dan melihat
fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Saya pun tidak tahu,
apakah klasifikasi itu benar atau malah salah dan mungkin mengada-ada.
Namun sekali lagi, saya katakan bahwa fenomena itu ada, minimal yang
penulis tangkap dari gejala sosial yang ada.
Golongan pertama adalah mereka yang menyadari sepenuhnya makna dan nilai
yang ada dalam Ramadhan. Sehingga, jauh-jauh hari sebelum bulan suci ini
hadir di hadapannya, mereka telah berkemas-kemas untuk mengarungi
perjalanan rohani yang demikian mengasyikkan.
Semua perbekalan untuk menjalani perjalanan rohani itu telah mereka
persiapkan dengan sebaik-baiknya dan sematang-matangnya. Mereka
menyadari bahwa perjalanan rohani yang akan ditempuhnya dalam sebulan
itu bukan perjalanan yang mudah dan gampang. Ia memerlukan stamina fisik
dan rohani yang mapan, sehingga perjalanan itu bisa dilakukan dan
dilalui dengan baik.
Pembiasaan-pembiasaan pembuka sebagai latihan, akan dilakukanya.
Termasuk melakukan puasa-puasa sunah di bulan Sya’ban, atau mungkin
bahkan sudah dilakukan pada bulan Rajab. Pokoknya, kelompok ini
betul-betul siap menghadapi perjalanan rohani selama bulan Ramadhan.
Mereka mengerti benar peta perjalanan rohani itu dengan sebaik-baiknya.
Akibatnya, secara mental mereka tidak terkejut dan bahkan merasakan
hentakan kenikmatan, kala akan memasuki bulan suci ini. Penulis kira,
golongan ini bukanlah golongan mayoritas di tengah umat dewasa ini.
Mereka adalah para pemburu takwa.
Golongan kedua adalah mereka yang biasa-biasa saja dalam menyambut
kedatangan bulan suci ini. Tak ada riak spiritual dan gairah jiwa yang
meluap-luap penuh gembira menyambut bulan ampunan dan suci ini.
Kehadiran Ramadhan sama sekali tidak mempengaruhi kebangkitan
spiritualnya, tidak menggairahkan “urat-urat” kepekaan nuraninya. Tak
ada yang berubah. Tak ada yang bergeser. Jiwanya demikian dingin,
walaupun suasana bulan suci telah memercikkan kehangatan-kehangatan.
Hati mereka tak lagi terangsang untuk memeluk erat sang tamu agung ini.
Di bulan suci ini, bukan tidak mungkin manusia semacam ini banyak
jumlahnya.. Bahkan, bisa menjadi bagian paling besar dari lapisan umat
ini. Namun, saya berharap dan berdoa, semoga tidak. Untuk mereka,
bonus-bonus Ramadhan tiada guna dan mereka memang tidak berhak
mendapatkannya.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang gembira dengan kehadiran bulan
Ramadhan, karena mereka merasa bahwa kedatangannya dianggap akan membuat
mereka menangguk keuntungan besar. Siapa mereka? Mereka adalah
sosok-sosok pencari “nafkah” dengan kehadiran bulan suci.
Di benaknya, yang bertaburan bukan pahala-pahala yang Allah turunkan
dari langit karena amal-amalnya yang sempurna. Yang terbayang dalam
benaknya adalah “honor-honor” jutaan atau amplop-amplop dalam sekali
tampil di publik, di media radio dan televisi, atau di mana saja yang
dianggap mendatangkan uang.
Hatinya sama sekali tidak terpaut dengan “imaan dan ihtisaab” di bulan
Ramadhan. Yang tertayang dalam benaknya adalah seberapa banyak
penghasilan yang akan dia dapatkan dengan kehadiran bulan suci ini.
Baginya tak perlu apakah bulan ini bulan ampunan atau bukan bulan
ampunan, yang penting aliran uang mengalir deras ke kantong atau rekening.
Tak ada dalam kamusnya, bahwa malam-malamnya harus diisi dengan salat
tarawih dengan khusyu’ dan penuh makna. Malamnya-malamnya malah dia
sibukkan untuk tayang sana, tayang sini sambil tertawa bekakan, seakan
Ramadhan adalah bulan tawa dan bukan bulan amal.
Malam-malamnya penuh dengan fatwa-fatwa dan seruan beramal, sementara
dia sendiri tengah “membakar” dirinya dengan ucapan-ucapan yang
sebenarnya dia sendiri tidak pernah, bahkan hanya untuk sekedar berniat
melakukannya. Mulut berbusa-busa mengajak orang mentadabburi Al-Quran,
namun dia sendiri untuk menyentuh, ya untuk menyentuh saja, demikian
enggan.
Sosok ini bisa menimpa seorang pedagang, bisa seorang artis dan
selebritis, bisa seorang kiyai, bisa seorang ustadz ternama, bisa
seorang qari’-qariah, bisa seorang dai kondang, bisa seorang presenter,
bisa seorang pengelola televisi, radio, pengelola pengajian, pengelola
transportasi, dan siapa saja yang menjadikan uang sebagai target utama
pada saat Ramadhan datang menjelang.
Saya yakin, kelompok ini ada dan bahkan jauh-jauh hari telah melakukan
kalkulasi sejauh mana Ramadhan kali ini dia bisa eksploitasi
sebaik-baiknya.. Dia memang puasa, namun puasanya kosong dari makna dan
spirit Ramadhan yang sebenarnya. Mereka memang puasa, namun puasa yang
tidak memiliki bobot apa-apa. Hampa!!
Kategori terakhir adalah sosok manusia yang demikian ketakutan dengan
kehadiran Ramadhan. Kelompok ini saya anggap sebagai kelompok yang
sangat parah dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga.
Kelompok ini menjadikan Ramadhan sebagai momok yang selalu menghantui
dirinya. Sebulan sebelum Ramadhan datang, mereka telah menggigil karena
akan tiba bulan suci ini. Mereka merasa ngeri karena harus menahan makan
dan minum, harus sembunyi-sembunyi jika mereka tidak puasa, mereka harus
malu jika kepergok sedang makan-makan.
Bahkan bukan itu saja, ada diantara mereka yang merasa terancam roda
hidupnya dengan kedatangan bulan suci ini. Mereka merasa bahwa Ramadhan
telah menyumbat rizkinya.
Mereka bisa saja terdiri dari pelaku bisnis haram, para pengelola
night-night club yang diperintahkan untuk ditutup selama Ramadhan.
Mereka bisa saja adalah para pelacur kelas kakap yang setiap harinya
menjual kehormatan kepada para si hidung belang. Bisa saja mereka adalah
para pedagang makanan di pinggir-pinggir jalan, yang seakan hidup
menjadi kiamat karena penghasilan drastis berkurang. Mereka bisa saja
pengelola restoran atau siapa saja yang menganggap bahwa Ramadhan bukan
bulan penyucian diri dan jiwa.
Saya tidak berani berkomentar sosok macam apakah mereka. Yang jelas,
mereka bukan pemburu takwa, bukan pula manusia yang mengharap ridha
Tuhannya. Mereka tidak akan dapat nilai apa-apa di bulan mulia ini.
Kalau mungkin saya tambahkan, maka kelompok terakhir adalah kelompok
pongah yang dengan terangan-terangan tampil di depan orang menampilkan
“keberaniannya”, bahwa mereka tidak puasa tanpa alasan apa-apa. Untuk
yang terakhir ini, hanya Allah yang bisa memasukkan ke dalam neraka.
Kita berdoa, semoga kita masuk pada golongan pertama. Golongan yang
semangat menyambut kedatangan Ramadhan yang mulia. Semangat memeluk
nilai-nilai dan semangat pula memaknainya.